Pengantar
Demokratisasi yang berlangsung luas
diberbagai negara dunia setelah berakhirnya perang dunia I, melahirkan
negara-negara rejim demokratis. Seiring dengan itu tuntutan untuk menyusutkan
peran negara dalam kehidupan berbangsa semakin meluas. Peran administrasi
publik dalam konteks demikian secara imperatif mereposisikan dirinya
sebagai governance, yang semula menjadi instrumen negara
menjadi instrumen publik dalam konteks yang luas.
Selama seperempat abad
terakhir, dengan perkembangan industri
telah membuatperubahan mendasar dalam tujuan demokrasi dan metode
pemerintah. Berbagai elemen dikombinasikan untuk menghasilkan perubahan
ini dengan meningkatkan defisit, mengatasisatagnation
ekonomi, meningkatkan
kesejahteraan. Merubah karakteristik pembangunan pasca
Perang Dunia II, pemerintah pada 1970, 1980, dan tahun l990 menjadi kurang
hirarki, lebih terdesentralisasi, dan pemerintah berperan sebagai
aktor kebijakan dominan ke sektor swasta (Kettl 2OOO).
Administrasi publik menjadi sarana utama
untuk meningkatkan tercapainya tujuan publik utamanya dalam mengalokasikan
resorsis publik sehingga terhindar dari distorsi, manipulasi. Sekalipun
demikian, governance, sebagai sebuah pendekatan dalam
administrasi publik juga mulai memasuki ekologi sosial baru yang sarat dengan
sistem nilai misalnya budaya, politik, informasi, komunikasi. Nilai-nilai
formal yang direproduksi secara hirarkis dan rasional memang turut membangun watak
reposisi ini.
Perubahan ini menimbulkan pertanyaan
tentang ruang lingkup dan sifat administrasi Publik, baik sebagai profesi dan
sebagai ilmiah. untuk hampir seluruh abad kedua puluh, administrasi publik
identik dengan birokrasi, hirarki, dan akuntabilitas. Reformasi
administrasi tidak hanya sifat dari pemerintah sendiri yang dipertanyakan
dan diubah tetapi juga kekuasaan dan tanggung jawab kota, negara, dan
negara-bangsa menjadi kurang didefinisikan dan semakin bergabung dengan
yurisdiksi lainnya di sektor swasta. administrasi negara sekarang kurang
birokrasi, kurang hirarkis, dan kurang bergantung pada kewenangan
pusat dalam mengambil kebijakan.
Teori Governance
Kata governance kini menjadi satu idiom
yang dipakai secara luas, sehingga dapat dikatakan juga menjadi konsep payung
dari sejumlah terminologi dalam kebijakan dan politik, kata ini acapkali
digunakan secara serampangan untuk menjelaskan : jaringan kebijakan
(policy networks, Rhodes: 1997), manajemen publik (public management,
Hood: 1990), koordinasi antar sektor ekonomi (Cambell el al, 1991), kemitraan
publik-privat (Pierre, 1998), corporate governance(Williamson,
1996) dan good govenance yang acapkali menjadi syarat utama
yang dikemukakan oleh lembaga-lembaga donor asing (Lefwich, 1994).
Sementara itu dalam konteks reposisi
administrasi publik Frederickson memberikan interpretasi governance dalam empat
terminology :
Pertama, Governance,
menggambarkan bersatunya sejumlah organisasi atau institusi baik itu dari
pemerintah atau swasta yang dipertautkan (linked together) secara
bersama untuk mengurusi kegiatan-kegiatan publik. Mereka dapat bekerja secara
bersama-sama dalam sebuah jejaring antar negara. Karenanya terminologi pertama
ini, governance menunjuk networking dari sejumlah himpunan-himpunan entitas
yang secara mandiri mempunyai kekuasaan otonom. Atau dalam ungkapan
Frederickson adalah perubahan citra sentralisasi organisasi menuju citra
organisasi yang delegatif dan terdesentralisir. Mereka bertemu untuk malakukan
perembugan, merekonsiliasi kepentingan sehingga dapat dicapai tujuan secara
kolektif atau bersama-sama. Kata kunci terminologi pertama ini adalah networking,
desentralisasi.
Kedua, Governance sebagai
tempat berhimpunnya berbagai pluralitas pelaku - bahkan disebut sebagai hiper
pluralitas - untuk membangun sebuah konser antar pihak-pihak yang berkaitan
secara langsung atau tidak (stake holders) dapat berupa : : partai politik,
badan-badan legislatif dan divisinya, kelompok kepentingan, untuk menyusun
pilihan-pilihan kebijakanseraya mengimplementasikan.
Hal penting dalam konteks ini adalah mulai hilangnya fungsi kontrol antar
organisasi menjadi, menyebarnya berbagai pusat kekuasaan pada berbagai
pluralitas pelaku, dan makin berdayanya pusat-pusat pengambilan keputusan yang
makin madiri.
Dengan demikian terminologi kedua ini menekankan, governance dalamm konteks
pluralisme aktor dalam proses perumusan kebijakan dan implementasi kebijakan.
Beberapa pertanyaan kunci yang penting : seberapa jauh kebijakan yang dilakukan
pemerintah merespon tuntutan masyarakat, seberapa jauh masyarakat dilibatkan
dalam proses tersebut, seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses
implementasi, seberapa besar inisiatif dan kreativitas masyarakat tersalurkan,
seberapa jauh masyarakat dapat mengakses informasi menyangkut pelaksanaan
kebijakan tersebut, seberapa jauh hasil kebijakan tersebut memuaskan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Kata kunci dalam terminologi kedua ini adalah pluralitas
aktor, kekuasaan yang makin menyebar, perumusan dan implementasi kebijakan bersama.
Ketiga, Governance berpautan dengan
kecenderungan kekinian dalam literatur-literatur manajemen publik utamanya
spesialisasi dalam rumpun kebijakan publik, dimana relasi multi organisasional
antar aktor-aktor kunci terlibat dalam implementasi kebijakan. Kerjasama para
aktor yang lebih berwatak politik, kebersamaan untuk memungut resiko, lebih
kreatif dan berdaya, tidak mencerminkan watak yang kaku utamanya menyangkut :
organisasi, hirarki, tata aturan. Dalam makna lebih luas governance merupakan
jaringan (network) kinerja diantara organisasi-organisasi lintas
vertikal dan horisontal untuk mencapai tujuan-tujuan publik. Kata kuncinya
jaringan aktor lintas organisasi secara vertikal dan horisontal.
Keempat, terminologi Governance dalam
konteks administrasi publik kental dengan sistem nilai-nilai kepublikan. Governance menyiratkan
sesuatu hal yang sangat penting. Governance menyiratkan sesuatu
keabsahan. Governance menyiratkan sesuatu yang lebih
bermartabat, sesuatu yang positif untuk mencapai tujuan publik. Sementara
terminologi pemerintah (government) dan birokrasi direndahkan,
disepelekan mencerminkan sesuatu yang lamban kurang kreatif. Governance dipandang
sebagai sesuatu yang akseptabel, lebih absah, lebih kreatif, lebih responsif
dan bahkan lebih baik segalanya.
Dari keempat terminologi tersebut dapat
ditarik pokok pikiran bahwa governance dalam konteks administrasi publik adalah merupakan proses perumusan dan implementasi untuk
mencapai tujuan-tujuan publik yang dilakukan oleh aktor :
pluralitas organisasi, dengan sifat hubungan yang lebih luwes
dalam tataran vertikal dan horisontal, disemangati oleh nilai-nilai kepublikan
antara lain keabsahan, responsif, kreatif. Dilakukan dalam semangat kesetaraan
dan netwoking yang kuat untuk mencapai tujuan publik yang
akuntabel.
Berdasarkan pemikiran ini governance
adalah merupakan sebuah ekspansi notion dari makna
administrasi publik yang semula hanya diartikan sebagai hubungan struktural
antara aktor-aktor yang ada dalam mainstream negara. Secara
tegas Milward dan O'Toole memberikan interpretasi governance dalam dua aras
penting : Pertama, governance sebagai studi
tentang konteks struktural dari organisasi atau institusi pada berbagai level (multi
layered structural contex). Kedua,governance adalah
studi tentang network yang menekankan pada peran beragam aktor
sosial dalam sebuah jejaring negosiasi, implementasi, dan pembagian hasil.
Merupakan konser sosial melibatkan pelaku-pelaku untuk
mengakselerasikan kepentingan publik secara lebih adil dan menebarnya peran
lebih merata sesuai dengan realitas pluralitas kepentingan dan aktor yang ada.
Sementara itu dari perspektif
strukturalis sebagaimana argumentasi Lynn, Heinrich dan Hill yang dikutip oleh
Frederickson elemen penting notion governance meliputi aras
teori kelembagaan (institutionalism) dan teori jaringan (network
theory).
Pertama, governance berkaitan dengan suatu level kelembagaan (institutional
level). Matra ini meliputi sistem nilai,
peraturan-peraturan formal atau informal dengan tingkat pelembagaan yang mantap
: bagaimana hirarki ditata, sejauhmana batas-batasnya disepakati, bagaimana
prosedurnya, apa nilai-nilai kolektif yang dianut rejim. Yang termasuk dalam
konsepsi ini antara lain : hukum administrasi, dan bentuk peraturan legal
lainnya, teori-teori yang berkaitan dengan bekerjanya birokrasi dalam skala
luas, teori politik ekonomi, teori kontrol politik terhadap birokrasi. Pada
gatra ini terdapat sejumlah teori yang sangat penting : teori kelembagaan (institutional
theory), teori perburuan rente (rent seeking), teori kontrol
dari birokrasi, dan dan teori tujuan dan filosofi pemerintah. Pada bagian ini
teori governance difokuskan pada tataran-tataran sistem nilai
(value).
Kedua, pada level organisasi dan managerial governance akan
berpautan dengan biro-biro hirarki, departemen, komisi dan agen-agen
pemerintah atau juga organisasi-organisasi yang menjalin hubungan kerja
dengan pemerintah . Pada tataran ini agenda-agenda : kebebasan dan mandirian
administratif, takaran-takaran unjuk kerja dalam proses pelayanan publik,
menjadi isu yang penting. Tori-teori yang signifikan untuk menjelaskan fenomena
ini antara lain : principal-agent theory, transaction cos analysis theory,
collective action theory, network theory. Intinya, pada terminologi kedua ini governance
diproyeksikan pada peran mengakselerasikan kepentingan-kepentingan publik (public
interest) dalam suatu network antar institusi.
Ketiga, pada level teknis, bagaimana nilai-nilai dan kepentingan publik
sebagaimana telah dikemukakan pada pendekatan pertama dan kedua harus
dioperasionalisasikan dalam tindakan-tindakan riil. Isu-isu tentang
profesionalisme, standar kompetensi teknis, akuntabilitas, dan kinerja (performance)
sangat penting dalam konteks ini. Teori-teori yang relevan untuk tema ini
antara lain : ukuran-ukuran efesiensi, teknis manajemen budaya organisasi,
kepemimpinan, mekanisme akuntabilitas, dan ukuran. Dengan demikian pada
level ini governance lebih banyak berurusan dengan implementasi kebijakan
publik pada level operasional (public policy at the street level).
Ide
tentang Governance yang menarik juga ditulis oleh Dr. Sanjeev Kumar Sharma dalam Jurnal Indian
Idea of Good Governance “Revisiting Kautilya’s Arthshastra”, yang
menyingkap teori Kautilya Arthshastra. Didalamnya digambarkan kaitan antara
teori Governance dengan teori Kautilya Arthshastra.
Governance telah menjadi gagasan ideal
pemikir politik, perencana kebijakan, pengambil keputusan dan para akademisi.
Dalam masyarakat apapun, perhatian dasar dari warga negara adalah kebaikan
pemerintah. Dan untuk ini sistem dan sub-sistem dasarnya pemerintahan harus efisien, efektif, ekonomis,
etis dan adil. Dengan cara yang sama, proses tata kelola juga harus peduli
saja, masuk akal, adil dan warga. Untuk mencapai kualitas tata pemerintahan
yang baik, mesin pemerintahan juga harus akuntabel dan bertanggung jawab.
Pencarian ini untuk pemerintahan yang
baik, sejak lama, menjadi andalan evaluasi fungsi kekuatan. wacana Akademik
sebagian besar telah tergantung pada model konsep Barat tentang tata
pemerintahan yang baik. Tapi kami menemukan bahwa hal ini tidak sepenuhnya
fenomena baru dan masalah tersebut telah menemukan menonjol dalam karya-karya
ilmiah tentang pemerintahan dan masyarakat pada abad-abad awal juga.
Kita mungkin mulai dengan suatu usaha
untuk menelusuri akar kepedulian kami terhadap tata pemerintahan yang baik
dalam kitab suci India kuno. Dalam upaya untuk memfasilitasi pemahaman kita
tentang konsep tata pemerintahan yang baik dalam konteks kuno pemerintahan,
Kautilya's Arthashastra mungkin terbukti dalam basis penting. Kautilya sendiri
telah diproklamasikan pada awal Arthshastra bahwa risalah tentang aturan
pemerintahan untuk raja telah disiapkan setelah pemahaman sistematis dari semua
literatur akademis tersedia pada subyek dan pengadaan bukti empiris pada
kerangka teoritis yang berlaku fungsi politik pemerintah.
Hal ini di latar belakang ini bahwa
beberapa upaya telah dilakukan untuk
memahami konsep negara kesejahteraan dalam teori politik Kautilya dan ini telah
disambut dengan baik. Telah benar mengamati bahwa meskipun banyak pekerjaan
oleh para ahli pada signifikansi historis dari Arthshastra serta memberikan
kontribusi teori Kautilya untuk tata negara dan administrasi, kitab klasik
berlimpah belum dilihat dari sudut Ilmu Politik.
Teori Arthashastra pada dasarnya adalah
sebuah buku pegangan untuk bimbingan kelompok yang mengatur sebuah manual bagi
politisi berlatih. Dalam porsi signifikan besar dari itu, Kautilya mengatur
untuk kebutuhan yang spesifik dan menggunakan diuji prosedur administrasi.
Prosedur, dengan demikian ditentukan, indikasi tata pemerintahan yang baik,
tidak kehilangan relevansi mereka sampai tanggal dengan mengacu pada konteks
sosial-politik dan budaya di India. Telah benar diamati bahwa Samhitas dari Yajurveda
dan Brahamans telah mengembangkan prinsip Veda lama kewajiban raja terhadap
rakyatnya.
Prinsip-prinsip
administrasi negara yang tercantum dalam Kautilya's Arthashastra sekitar 2300
tahun yang lalu, mempunyai persamaan dengan konsep modern negara kesejahteraan
dalam hal ideologi, cita-cita, fungsi, tugas, tugas, sosial administrasi
organisasi, dll. Prinsip-prinsip dan kebijakan pemerintah dan administrasi
menemukan tempat ablarge di kanvas oleh pemikiran politik Kautilya's. Pelajaran
pertama pada tuga mengatur kerajaan bagi raja untuk mendapatkan penaklukan
dirinya sendiri, untuk menghindari canda, penipuan dan keserakahan, untuk
menampilkan kecerdasan, keahlian dan menahan diri, untuk bertindak dengan
musyawarah dan sebagainya. King's merger lengkap kepentingannya pada mereka
rakyatnya serta konsep negara-kesejahteraan lipat dengan dua tujuan atas
kebebasan anggotanya dari rasa takut dan dari ingin, menandai pembentukan
prinsip dasar tata pemerintahan yang baik. Raja disarankan untuk terus mengadopsi
perilaku wanita hamil: sebagai ibu mengabaikan menyukai sendiri mencari yang
baik dari anak dalam rahimnya, sehingga harus raja bersikap terhadap rakyatnya,
raja orang benar harus terus berperilaku sehingga menyerah yang sayang
kepadanya demi apa yang bermanfaat bagi umat-Nya. Dalam hal ini, Arthashastra
mendefinisikan konsep 'Hindu' dari 'kepentingan umum' yang harus dilakukan oleh
seorang raja yang baik dari semua dan setiap orang harus tersedia. Arthashastra
membahas secara rinci prinsip kebenaran yang temporal penguasa atau
kebenaran politik.
Prinsip-prinsip dan
kebijakan pemerintah yang melibatkan konsepsi negara kesejahteraan dan bahwa
identifikasi lengkap penguasa dengan rakyatnya telah dimasukkan dalam skema hal
oleh Kautilya, dengan demikian, menyediakan subordinasi kekayaan untuk
kebajikan. Membenarkan penerapan kebenaran dalam urusan pemerintahan,
menyatakan kebenaran menjadi esensi kerajaan, Arthashastra menjelaskan
bagaimana sikap raja terhadap prinsip ini diikuti dengan mendalam tolakan pada individu dan masyarakat melalui pengaruhnya terhadap fisik lingkungan. Arthashastra menjelaskan prinsip kebenaran politik sedemikianrupa sehingga tidak hanya melibatkan kualifikasi tinggi moral raja
dan perlindungannya cemerlangnya mata
pelajaran, tapi juga seleksi menteri yang berkualitas dan penerapan tentang asing kebijakan pada prinsip kemanfaatan. Hanya aplikasi danda, (otoritas koersif penguasa temporal) juga bisa menuntun
dia menuju tata pemerintahan yang
baik. Arthashastra conceives danda menjadi paling pasti dan cara
yang
paling universal menjamin keamanan publik serta stabilitas tatanan sosial, sementara merenungkan penerapan universal danda terlepas dari peringkat pelaku dan status. Dalam
Arthashastra dari Kautilya, kita menemukan sepenuhnya dan perawatan yang paling
sistematis teori India pemerintah kuno. Ini berkaitan dengan
topik-topik seperti hubungan dari raja dengan faktor lain dari struktur
negara, skema pelatihan sang pangeran di dasar pengembangan simultan dari
kecerdasan dan karakter, perekrutan dan pemilihan pejabat, teknik
konsultasi raja dengan menterididirikan pada analisis yang jelas tentang nilai
dan syarat nasihat, dan akhirnya, organisasi sipil dan pemerintahan
militer berdasarkan pertimbangan tersebut sebagai kecenderungan kekuasaan
untuk berkembang biak korupsi dan bahaya militer bersatu perintah dari
sudut pandang keamanan eksternal.
Aspek dari kehidupan disiplin dan kode
etik fitur penting dari yang baik pemerintahan. Inimenetapkan sebuah model
untuk diikuti orang lain, sebagaimana diatur dalam Arthashastra. Rajabimbingan
dan mengawasi administrasi lain konstituen dari pemerintahan yang baik. Hal ini menjamin kesejahteraan rakyat. Administrasi
kompetensi raja dan menterinya seperti yang disarankan oleh
Kautilya juga mengarah ke pemerintahan yang baik. Semua ini menunjukkan bagaimana sistem Kautilya tentang pemerintahan
sangat modern di konsep dan kontemporer di juklak. Untuk hari ini, oleh karena
itu, cukup alami, persepsi dan tulisan-tulisan yang menarik perhatian tidak
hanya akademis peneliti tetapi juga pemikir banyak hari ini, pengamat
administratif dan politik pemimpin, seperti filsafat, ajaran, nasihat dan saran
yang terkandung dalam dua epos kuno, Ramayana dan Mahabharata, memiliki
relevansi yang substansial, bahkan hari ini di hal prinsip dasar kenegaraan dan
pemerintahan. Kami menemukan bahwa sebagian besar dasar fitur konsep modern
dari pemerintahan yang baik, tanggap pemerintah, efisiensi administrasi,
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, pembangunan secara keseluruhan masyarakat
politik, kualitas hidup yang baik, etis dan ekonomi kekayaan telah mendapatkan tempat yang menonjol dalam
proses berpikir dan struktur administrasi didalilkan oleh Kautilya
dalam bukunya Arthashastra. Tujuan utama dari otoritas telah digambarkan sebagai kebahagiaan rakyat. Semua
tujuan-tujuan lain yang gratis dan sekunder. Hal
ini tidak hanya menunjukkan perhatian besar filsuf untuk kesejahteraan membawa orang, tapi juga meneruskan 'India' Model
pemerintahan yang baik sebelum masyarakat akademik besar.
Kemudian berkaitan dengan Governance
sebagai New Public Management Demetrios Argyriades dalam
jurnal International Review Administrative Science dengan
judul Good Governance, professionalism, ethic and Responsibility berpendapat
bahwa pemerintah tidak hanya ada profesi, tetapi banyak. Pemerintah menggunakan
berbagai spesialisasi dan keterampilan kerja. Apa yang membedakan anggota
profesi pelayanan publik merupakan komitmen untuk umum dibandingkan dengan
kepentingan tertentu. Konsep kepentingan umum dan universalitas memilik
nilai-nilai sangat penting dalam hal ini.
New Public Managemen yang berorientasi
kepada pelayanan, etika dan profesionalisme, mempertanyakan bobot relatif
mereka, menurut prioritas utama dan hasil priming atas proses. Baru-baru ini,
serangan telah datang dari neo-konservatif mempertanyakan universalitas
nilai-nilai dan kekakuan profesional yang memerlukan ini. Implisit atau
eksplisit, pendukung argumen ini telah biarkan dipahami bahwa nilai-nilai
profesional seperti benar-benar bergantung pada kesetiaan kepada organisasi
utama seseorang, kelompok atau negara bangsa. Sejalan dengan pendekatan ini,
beberapa orang telah menyarankan bahwa tindakan tercela bermigrasi ke pesawat
yang lebih tinggi jika mereka dapat digambarkan sebagai tugas untuk satu
negara, sebagaimana disetujui oleh raison d'état, atau sebagai manifestasi dari
tidak perlu diragukan lagi ketaatan kepada kepala politik.
Ada beberapa point yang
digambarkan Demetrios Argyriades dalam pelaksanaan
penelitiannya :
a. The
limits of obedience
Perdebatan politik selama krisis berlangsung telah menawarkan wawasan yang
luas ke dalam peran yang benar profesional dalam
pemerintahan. Pada isu ini tidak tugas untuk
melayani atau untuk taat, melainkan parameter, metode
dan sarana pelayanan publikyang profesional amati dalam
melakukannya. Apakah semangat tak
terbatas dalam rangka ? Apakah hasil semua hitungan itu? Apakah tujuan membenarkan sarana ? Beberapa orang tampaknya berpikir begitu. Namun, pelajaran sejarah, Perang
Dunia II pada khususnya, serta kasus terakhir dan hukum internasional, titik pada
kesimpulan yang berbeda. Dalam pernyataan yang luar
biasa dikaitkan dengan Richardson, penasihat Presiden Nixons menekankan para
pemimpin politik kebutuhan keahlian, kelembagaan memori, dan saran jujur rekan karir mereka '(Pfiffner, 2003: 257). Untuk memberikan saran jujur tersebut, didasarkan pada keahlian, pegawai
negeri harus merasa bebas untuk berbicara kebenaran kepada kekuasaan; apa
yang di
bawah keadaan apapun mereka tidak mungkin lakukan
adalah sengaja menyimpangkan itu untuk menjilat.
b. Ethic
and Responsibility
Dua obiter dari Aristoteles membawa ke bantuan tajam
sifat dan pentingnya etika, di satu sisi, dan ketergantungan dekat etika dan
tanggung jawab, di lainnya. Yang pertama adalah ditemukan dalam Etika
Nicomachean. Di sana, Aristoteles menjelaskan bahwa, sebagai kata menunjukkan,
penilaian etika dan perilaku sangat sebagian besar produk dari kebiasaan dan
socialization. Yang lain, dari Poetics, menyatakan bahwa perilaku etis yang
memanifestasikan dirinya dalam melaksanakan choices. antara mereka, dua
pernyataan ini menyoroti peran penting bahwa tanggung jawab pribadi bermain di
etika profesi dan karenanya, kebutuhan untuk menetapkan dan mempertahankan
suatu lingkungan yang memungkinkan, memang memfasilitasi, informasi pilihan
etika oleh karyawan publik. Penting untuk tujuan ini dan good governance pada
umumnya adalah kerangka kelembagaan, yang nikmat perilaku etis. Tak
kalah penting, bagaimanapun, adalah juga budaya manajemen, yang kedua menetapkan
parameters18 dan memotivasi para pejabat untuk melayani kepentingan publik.
Meskipun, untuk mengekspresikan secara berbeda, 'anti-korupsi strategi' dan
lainnya eksogen sanksi dapat membantu menjaga pelayan publik di
jalan yang lurus dan sempit, ia akhirnya nilai-nilai, mestinya dihayati dan
konsisten dipraktekkan di tempat kerja, yang membentuk kepribadian profesional
pelayanan publik dan membimbing langkah-langkah mereka untuk bertindak. Saling
ketergantungan dekat struktur kelembagaan dan budaya terletak di pusat sangat
akuntansi argumen Aristoteles untuk jarak antara polities diatur dengan baik
dan mereka yang korup.
c. Public
service professionalism and the ethics of responsibility
Penyembahan keberhasilan dan marketisasi nilai-nilai yang tidak terbatas
pada sensu stricto sektor publik. Menurut semua account, telah cepat menyebar
ke sektor non profit (Eikenberry dan Kluver, 2004: 132-40).
Hasil dari tren ini dan kewirausahaan sosial,
bisa ditebak, telah dicampur. Menjelajahi fenomena ini, sebuah penelitian
terbaru ditemukan: pergeseran dari melayani masyarakat miskin untuk melayani
mereka yang bisa membayar mendesak menekan untuk menyaring mereka yang sulit
untuk melayani fokus pada kebutuhan klien daripada kebutuhan masyarakat
peningkatan penekanan pada hubungan manajemen dan publik pada biaya pelayanan
dan dukungan untuk status quo.
Studi menyimpulkan mengatakan bahwa wirausaha
sosial, dengan fokus pada garisbawah, secara
negatif mempengaruhi partisipasi masyarakat,
serta modal sosial. Dengan masyarakat
sipil beresiko, kecenderungan saat
ini membawa ke fokus mencolok memutuskan antara retorika dan kenyataan di
ruang publik. Nasional
dan internasional,wacana publik penuh
dengan doa saleh patriotisme, etika, demokrasi, tanggap,profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas. Paradoksnya, bagaimanapun, satu inderayang, dalam kenyataannya, manajemen
dan politik, nasional dan
internasional, terletak pada sebuah palung moral yang
mendalam. Apa model pasar pemerintahan telahdibudidayakan adalah kebingungan tentang
peran dan mengabaikan batas-batas bisnisdan pemerintah. Penolakan identitas profesi pelayanan
publik telah datang denganrelativisme moral, yang segala
cara yang baik, asalkan mereka meningkatkan posisi danmembantu memajukan tujuan pemain kekuatan utama (Argyriades, 2003).
d. Professional
autonomy: the basis of ethical conduct in the public service
Profesionalisme, pada umumnya, tetapi profesionalisme pelayanan publik ke tingkat
yanglebih tinggi, berarti keunggulan prinsip dan pengetahuan atas kebijaksanaan. Mereka menandai bertentangan dengan oportunisme bayaran dan hal
merendahkan diri kepada kekuasaan. Pribadi tanggung
jawab harus, karena itu, mengambil tempatnya di hub etika profesional. Tanggung
jawab pribadi berarti kepemilikan proyek, keputusan atau nasihat yang pelayan publik telah
menjadi bagian atau agen. Tingkat tinggi keterampilan
dan pengetahuan, tidak
peduli seberapa signifikan, hanyalah prasyarat untuk tindakan yang
tepat. Kompetensi ekspresi netral menunjukkan bahwa profesional akan
menempatkan mereka pada jasa dari penyebab yang
berhak atau pemimpin yang
sah, apakah dia mungkin setuju dengan filsafat yang
mendasarinya atau tidak. Ini perlu ditekankan, di
sisilain, bahwa kata-kata operasi, dalam
konteks ini, adalah penyebab sah dan pemimpinyang
sah.
Sejak akhir Perang Dunia Kedua, praktek administratif dan hukum
internasional telah menetapkan parameter perilaku toleransi dan, dengan
implikasi, apa itu program sah. Dalam dunia kita yang berubah cepat,
reinterpretasi konstan, serta tambahan pedoman, akan diperlukan dan
pelatihan dalam hal-hal seperti itu, mirip dengan belajar sepanjang hayat,
harus dianggap sebagai bagian dari pengembangan profesional dan persiapan tepat
waktu untuk tugas-tugas dari posting senior dalam setiap bidang kegiatan.
Penilaian Kritis dan pelatihan esensi untuk tidak ada cara yang terbaik,
satu ukuran cocok untuk semua solusi dalam etika pelayanan publik. 'Hasil atas
proses tidak akan melakukannya! Apapun kompleksitas, frekuensi dan mana-mana dari
dilema etis tidak boleh mengintimidasi pelayanan publik profesional.
Memecahkan dilema tersebut lebih dari persiapan untuk tugas pelayanan publik.
Dalam arti yang sangat nyata, ia menawarkan isyarat tentang kehidupan yang
baik. Sebab, dalam kata-kata Socrates, dalam bukunya Permintaan Maaf abadi,
kehidupan tanpa introspeksi, perdebatan dan eksplorasin hampir tidak hidup
layak. Seperti Aristoteles katakan, 'kebajikan terletak ditengah antara dua
kejahatan: kekurangan dan kelebihan. Mengejar kebajikan, sesuai, adalah tugas
yang tidak pernah berakhir.
Kemudian sejalan dengan perkembangan
administrasi public, Kenneth J. Meier dalam jurnal Public
Administration Review dengan judul Governance, Structure, and
Democracy: Luther Gulick and the Future of Public Administration dengan
mendudukkan teori Luther Gulick dan memprediksi masa depan administrasi Publik
berkesimpulan bahwasannya :
Dalam banyak
hal, baik praktek administrasi
publik dan studi untuk tahun
2020 tidak lebihseperti mereka hari
ini. Melihat tren, bagaimanapun,
dapat difasilitasi oleh pandangan historis; esaiini akan mengambil tulisan-tulisan Luther Gulick untuk
tujuan ini. Meskipun banyak akademik
administrasi publik kontribusi dari Luther Gulick telah diberhentikan, ini adalah disayangkan hasil dari "Herbert Simon Amsal dari Administrasi "(1946) kritik lapangan, kritik yang dianggap fokus pada Gulick. Ini tidak
adanya perhatian untuk pra-Simon sastra yang bermasalah, bagaimanapun, karenaSimon disalah artikan pekerjaan Gulick (Hammond 1990), dan, sebagai
akibatnya, generasi sarjana belum membaca karya Gulick dan salah
menafsirkan kontribusinya melalui mata kritik Simon Atau,sarjana melihat Gulick memiliki satu
fokus yang
berpikiran pada efisiensi tetapi tidak menggabungkan berbagai karyanya (lihat Miller 2007, xiii; Rosenbloom dan McCurdy 2007, 3).
Luther
Gulick memperlakukan administrasi publik sebagai sebuah
desain ilmu pengetahuan, dimana tidak hanya dengan bagaimana
sesuatu bisa terjadi tapi bagaimana
hal-hal itu mungkin terjadi . pandangan Gulick's pada ruang lingkup
administrasi publik ditulisan ini sangat luas. Meskipun gerakan tata
kelola kontemporer dibingkai sebagai perspektif inovatif dan lebih luas
pada
kebijakan dan administrasi, pemerintahan sebenarnya kembali dengan tradisi administrasi publik dan ilmu politik sebelum revolusi perilaku.
kebijakan dan administrasi, pemerintahan sebenarnya kembali dengan tradisi administrasi publik dan ilmu politik sebelum revolusi perilaku.
Menurut Luther Gulick pemeran
utama dalam Governance adalah sumber daya manusia,dimana ia
akan menemukan gagasan menjadi seorang futuris/orang yang memilki gambaran
masa depan atau hanya sekedar menemukan teori yang lucu. Saat
ia wawancara dengan Paul Van Riper, "tanggung jawab utama
saya belum mengembangkan suatu bangunan intelektual yang
konsisten dan ilmiah. Tugas saya adalah untuk membujuk para pengambil keputusan
politik bertanggung jawab untuk mengambil langkah maju yang masuk akal dalam
manajemen pemerintahan. Pendekatan ini lebih mengarah ke arah konsep marshaling
opportunistic dan kata-kata yang dirancang untuk menarik
klien dari struktur filosofis "(Van Riper 1998, 189). Namun jelas
bahwa dalam upaya untuk mempengaruhi reformasi manajemen publik, ia harus
membenarkan proposal sendiri; dalam pembenaran ini, kita menemukan banyak bukti
bahwa Gulick memiliki visi untuk apa beasiswa administrasi publik dan praktek
seharusnya.
Pandangan Luther Gulick membahas bagaimana masa
depan administrasi publik dan kemungkinan praktek pada
tahun 2020. Pertama, subjek administrasi umum
harus padapemerintahan bukan
hanya administrasi. Gulick konsisten berpendapat bahwa reformasi administrasi tanpa
memperhatikan proses politik akan menyebabkan hasil
yang optimal. Kedua, struktur organisasi lebih dari cara
untuk menghasilkan efisiensi yang lebih
besar. Struktur organisasi jugabeberapa
keuntungan individu, gagasan, dan proses relatif terhadap orang
lain. Singkatnya, struktur menciptakan bias, dan ini
harus diakui pada
saat merancang lembaga. Ketiga, ulama perlu menyadari bahwa struktur formal adalah
penting, tetapi hanya bagian
dari cerita. Organisasi informal dalam banyak hal bisa
jauh lebih penting untuk efektif dan efisien.
Kemudian Anne Khamedian dalam jurnal
Public Administration Review dengan judulOrganizing in the Future: Pursuing
Purposefulness for Flexible Accountability berpendapat tentang
Governance dengan berpandangan sebagai pengorganisasian di masa depan dengan
mengejar tujuan Akuntabilitas yang fleksibel.
Dalam konteks ini, saya sarankan
fokus Akuntabilitas dan
praktek menghadapi tantangan tujuan pengorganisasian adalah tugas para
pemimpin organisasi dan manajer. Purposefulness harus diselesaikan setiap hari
melalui operasi deliberatif proses yang memfasilitasi diberlakukannya,
lokal segera akuntabilitas sebagai proses berkelanjutan. Pada inti
dari tujuan organisasi adalah praktek manajemen inklusif (Feldman dan
Khademian 2002, 2007; Feldman, Khademian, dan Cepat 2009), atau upaya
terus menerus untuk memahami, terlibat, dan menempa cara mengetahui pekerjaan
yang terkait dengan program atau kebijakan untuk menjamin tujuan yang
berkembang(Feldman et al 2006).
Akuntansi untuk perilaku tidak lagi
terbatas dengan reaksi, tetapi merupakan bagian dari upaya harian untuk
mengidentifikasi dan terlibat alternatif cara mengetahui
pekerjaan. Kendala pada pendekatan ini untuk menempa sebuah tujuan organisasi yang
bervariatif. Harapan normatif tentang peran manajer publik dalam
demokrasi, serta realitas politik kelembagaan dan kelompok-kelompok
terorganisir merupakan kendala
yang bercokol, batas jangkauan eksperimen manajerpublik dalam
bekerja untuk membantu proses musyawarah inklusif. Tapi kembali ke dasar-dasar pengorganisasian, dinamika yang membuat tujuan mengorganisir mungkin, dan pemahaman
yang lebih
dalam memfasilitasi dan mendukung peran manajer publik dalam
proses yang bernilai usaha.
Sebagaimana tujuan penyelenggaraan publik yang menjadi lebih penting, pergeseran penegakan upaya pengorganisasian dari suatu
proses akar norma
yang kolektif, membentuk, dan memberlakukan batasan perilaku untuk upaya penegakan yang dilakukan oleh polisi , pengacara,administrator, dan auditor. Dari gerakan Progresif seterusnya, kita harus mengandalkan lapisan,konsolidasi, ekspresi eksplisit dari aturan, yang membentang kecil kontrol sebagai metode pengorganisasian untuk terlibat masalah yang
paling menantang kita secara kolektif (Kettl 2009;Knott dan Miller 1988; Kronenberg dan Khademian 2009). Mengidentifikasi
cara-cara untuk mewujudkan lebih fleksibel, desentralisasi, dan pendekatan
jaringan untuk ikut berpartisipasi dalam era tantangan intelektual secara
kolektif. Tapi di mana kita harus memfokuskan beasiswa dan praktek
dalam rangka untuk mengidentifikasi kapasitas yang diperlukan untuk
mengorganisir secara fleksibel belum terarah? Pertimbangkan salah
satu bentuk yang paling dasar pengorganisasian yang telah dilakukan sejak
anak-anak sekolah. Perbedaan Fundamental antara penyelenggaraan kasus
hariandan pengorganisasian untuk keamanan tanah air, tentu
saja. Di antara perbedaan-perbedaan adalah tujuan
utama memaksimalkan bermain versus mencegah atau merespon bencana dan
tindak terorisme. Tapi pengorganisasian juga paralel kapasitas
kita untuk mencapai tujuan. Ketika kita tidak
dapat mencapai tujuan
yang sama, kita cenderung untuk menempa hirarki, penuh aturan. Ironinya adalah
bahwa kita menyamakan hirarki dengan jelas, ketika
itu, saya berpendapat, justru
sebaliknya. Ketika ada tujuan bersama yang
terkait dengan pengorganisasian, akuntabilitas dapat dilaksanakan secara fleksibel, desentralisasi, dan lokal. Jika siswa meninggalkan permainan ditaman
bermain, aturan disesuaikan, tim kuadrat, dan memutar terus. Apa yang
kita bisa belajar dari penyelenggaraan taman bermain, bagaimanapun, adalah bahwa semakin jelas kita tentang tujuan organisasi, semakin terdesentralisasi
dan langsung proses akuntabilitas dapat. Operative deliberatif memungkinkan proses mekanisme akuntansi alternatif yang tidak tersedia dalam bentuk tradisional hirarki. Apa yang
kita membayar kurang memperhatikan adalah proses yang
sedang
berlangsung akuntabilitas dalam bentuk-bentuk pengorganisasian yang rutin bekerja karena proses akuntansi yang
dibangun ke
dalam mengorganisir. Ketika sebuah konsensus tujuan tidak
dapat tercapai, kita
menempuh hierarki dan berharap untuk yang terbaik.
Tercermin juga kontribusi teori
Governance bagi penerapannya dalam dunia usaha, karna pada dasarnya pertama
kali istilah Governance dikenalkan oleh Bank Dunia, yang ditekankan pada dunia
ekonomi, Peter J. Buckley and Roger Strange dalam Jurnal The
Governance of the Multinational Enterprise: Insights from Internalization
Theory, yang lebih menekankan pada teori Internalisasi. Internalisasi teori telah lama memberikan alasan kuat bagi keberadaan MNE sebagai mekanisme pemerintahan, meskipun klaim saingan teori berbasis
sumber daya dan teori evolusiperusahaan. Meskipun umur
panjang, kami tetap akan berpendapat bahwa lebih
banyak
penelitian diperlukan pada sifat dan pentingnya biaya
transaksi internal dan pada proses sebenarnya perumusan strategi oleh manajer MNE. Dalam
hal ini, ada ruang untuk menggabungkan wawasan teori internalisasi dengan orang-orang dari analisis kelembagaan dan teori keagenan. Internalisasi teori telah lama menyediakan salah
satu
rasional teoritis utama keberadaan perusahaan multinasional. Hal ini didirikan pada gagasan dasar yang eksploitasi aset perusahaan 'berbasis
pengetahuan melintasi batas batas nasional sering paling efisien dilakukan secara
internal di dalam struktur hirarki dari perusahaan multinasional. Internalisasi teori belum tanpa kritik, terutama olehpara
pendukung teori evolusi dari perusahaan.
Secara khusus, penulis ingin menyarankan dua baris menjanjikan
penelitian masa depan. Yang pertama berfokus pada biaya transaksi internal yang
terkait dengan pemerintahan dan organisasi kegiatan dalam Perusahaan
Multinasional, dan di sini kami menyoroti biaya perolehan informasi dan
transmisi, biaya koordinasi, dan biaya menyelaraskan kepentingan para pemangku
kepentingan yang berbeda dalam Perusahaan Multinasional. Yang kedua
membahas implikasi dari asumsi yang berbeda tentang kecenderungan
risiko Perusahaan Multinasional. Internalisasi teori secara implisit
mengasumsikan bahwa Perusahaan Multinasional adalah risiko netral, tapi
kami berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk percaya bahwa asumsi ini tidak
realistis. Selanjutnya titik ini, sikap yang berbeda terhadap risiko dapat
memiliki dampak pada struktur tata kelola yang lebih disukai untuk transaksi
internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar